Kamis, 19 Januari 2017

hi guys aku pengen share , makalah PKN aku , semoga bermanfaat














MAKALAH
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
“TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH”
(GOOD AND CLEAN GOVERNANCE)

DOSEN PEMBIMBING
ACHMAD LUTHFI PRAWIRAYADHA, SH , MM








DI BUAT OLEH KELOMPOK 7 :
1.EKA AIMA WIDYANINGRUM
2. LERISNA
3.RIRIN SUBHEKTI





KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Makalah yang kali ini kami bahas mengenai tentang “TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH” (GOOD AND CLEAN GOVERNANCE) , makalah ini juga di dukung dari berbagai sumber buku.

Terlepas dari semua  itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini  masih banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat  maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca terutama kepada bapak Achamd Luthfi Prawirayadhaselaku dosen pembimbing  agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan terhadap pembaca.



JAKARTA, 04 DESEMBER 2016


KELOMPOK 7



DAFTAR ISI
JUDUL.................................................................................................................................... I
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... II
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... III
BAB I ...................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1
      1.1. LATAR BELAKANG ............................................................................................ 1
      1.2. RUMUSAN MASALAH ......................................................................................... 3
      1.3. TUJUAN PENULISAN .......................................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................................... 7
2. 1.  Pengertian Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Dan Bersih ................................ 7
      2. 2. Karakteristik Good Government …........................................................             11
      2.3. Peran kontrol sosial tata kelola pemerintahan yang baik...................................   20
2.4. Pemerintahan dan moralitas ..........................................................................    24
2.5GoodandCleanGovernance dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik ...............  25
2.6 Strategi Penataan Aparatur ............................................................................    31
2.7 Optimalitas pelaksanaan otonomi daerah .....................................................     33
2.8 GoodandCleanGovernance dan Gerakan Anti korupsi............................       37
BAB III
PENUTUP............................................................................................................................   40
   3. 1 Kesimpulan .....................................................................................................         40
   3. 2 Saran ..............................................................................................................         40
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................   41



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

GoodandCleangovernance sering di gunakan sebagai standar sistem goodlocal. Gooodandcleargovernance di katakan baik untuk mengamati praktek demokrasi dalam suatu negara. Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertangungjawabkan kepada publik apa yang mereka lakukan baik secara pribadi maupun secara publik. Seorang presiden Gebernur, Bupati, Wali Kota, anggota DPR dan MPR dan pejabat politik lainnya harus menjelaskan kepada publik mengapa memilih kebijaksanaan X, bukan kebijaksanaan Y, mengapa memilih menaikkan pajak ketimbang melakukan efesiensi dalam pemerintahan dan melakukan pemberantasan korupsi sekali lagi apa yang di lakukan oleh pejabat publik harus terbuka dan tidak ada yang di tutup untuk di pertanyakan oleh publik
Tidak hanya itu apa yang di lakukan oleh keluarganya, sanak saudara dan bahkan teman dekatnya sendiri sering di kaitkan dan di letakkan pada posisi pejabat publik, mengapa demikian? Alasan sebenarnya sederhana saja, karena pejabat tersebut mendapat amanah dari masyarakat maka dia harus dapat menegang amanah tersebut. Konsep Goodgovernance pertama kali di perkenalkan oleh  UNDP, sebab munculnya konsep ini di sebabkan oleh  tidak terjadinya akuntabilitas, tranparansi. Artinya banyak negara dunia ketiga ketika di beri bantuan dana tersebut banyak yang tidak tepat sasaran, sehinga negara maju enganmemberikan bantuan terhadap negara dunia ketiga adalah karena belum terciptanya sistem birokrasi yang efektif, efesien dan tidak adanya tranparansi, akuntabilitas bantuan dana dari negara maju. 
Konsekuensinya banyak terjadi korupsi yang  di lakukan oleh dunia ketiga ketika bantuan di turunkan oleh negara maju. Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep goodgovernance ini lebih dekat di pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini di pandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan  pada  peran manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang di lakukan oleh pemerintah pusat, Tanparansi, akuntabilitas publik dan di ciptakan pengelolahan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi. Tata kepermerintahan yang baik (GoodGovernance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini di pergunakan secara reguler di dalam ilmu politik dan administarasi negara. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai permasalahan tersebut. Konsep itu yaitu Goodgovernance. Governance berbeda dengan government yang artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastruktur, maka governance juga bicara tentang suprastrukturnya. 
Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas.
Dalam seminar yang diadakan oleh Asian Development Bank (ADB) di Fukuoka Jepang pada tanggal 10 Mei 1997 didapat sebuah kesimpulan, pengalaman negara-negara di Asia Timur memperlihatkan bahwa pemerintahan yang baik dan bersih (goodandcleangovernment) merupakan faktor penting dalam sebuah proses pembangunan (ADB, 1997). Pertemuan ini juga menyepakati empat elemen penting dari pemerintahan yang baik dan bersih yaitu (1) accountability, (2) transparancy, (3) predictability, dan (4) participation. Kesimpulan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kesadaran bahwa tanpa keinginan mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih tidak mungkin melakukan pembangunan dengan baik.
Pengabaian terhadap goodgovernance telah menjadi penyebab terhadap krisis keuangan yang terjadi di kawasan Asia. Krisis ini meluas menjadi ekonomi, sosial dan politik. Bahkan kemudian menyeruak kepada krisis kepercayaan publik yang amat parah. Menurut Wanandi (1998) krisis ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintah yang tidak berdasarkan hukum, kebijakan publik yang tidak transparan serta absennya akuntabilitas publik akhirnya menghambat pengembangan demokrasi dalam masyarakat.


1. 2 PERUMUSAN MASALAH

1. Memahami tentang pengertian dan karakteristik Goodandgovernance sebagai suatu wacana pemerintahan yang bersih dan baik.
2. Memahami prinsip-prinsip dasar yang menjadi aspek bagi terselenggaranya Pemerintahan yang baik dan bersih.
3. Memahami dan melakukan perannya sebagai socialControl terhadap transparansi pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih.
4. Bagaimana Strategi Penataan Aparatur dalam Pelaksanaan GoodGovernance Menuju  Pemerintahan Yang Bersih ?
5. Pelaksanaan prinsip goodgovernance dan cleangovernance dalam sistem pemerintahan nagara ?
6. Hambatan hambatan dalam melaksanakan prinsip goodgovernance dan cleangovernance dalam sistem pemerintahan negara?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menganalisispengertiangoodgovernance
2. Memberikan pemahaman mengenai pengertian dari Good andClearGovernance
3. Memberikan gambaran bagaimana penerapannya di Indonesia
4. Menganalisis karakteristik GoodGoverment
5. Memberi Pemahaman pentingnya socialControl terhadap transparansi GoodandCleanGovernance
4. .Menganalisis keterkaitan cleanandgoodgovernance dengan kinerja birokrasi pelayanan
5. Menganalisis pentingnya prinsip-prinsip goodgovernance dalam tata kelola pemerintahan
6. Mendemonstrasikan prinsip-prinsip goodgovernance dalam skala kecil
7. Mengkritisi kebijakan pemerintah atau lembaga terkait melalui paradigma goodandcleangovernance
8. Menganalisis keterkaitan cleanandgoodgovernance dengan gerakan anti korupsi.
9. Menganalisis keterkaitan cleanandgoodgovernance dengan kinerja birokrasi pelayanan pubik.

BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Pengertian Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik Dan Bersih
Kata governance berasal dari kata to govern (yang berbeda maknanya dengan to command atau to order) yang artinya memerintah .
sedangkan Menurut Prof. Bintoro Tjokroamidjojo  dalam Buku Paradigma Baru Management Pembangunan, mengemukakan bahwa Governance berarti memerintah, menguasai, mengurusi, mengelola. Kemudian kutipan pendapat Bondan Gunawan dengan istilah penyelenggaraan sebagai terjemahan dari Governance. Begitu juga dalam pidato Presiden RI tanggal 16 Agustus 2000 istilah Governance diterjemahkan menjadi pengelolaan.
MenurutUnited Nations Development Program UNDPsalah satu badan PBB tentang definisi Good Governance adalah sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta dan masyarakat, dalam prinsip-prinsip; partisipasi, supremasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun konsesus, kesetaraan, efektif dan efisien, bertanggungjawab serta visi stratejik.Menurut UNDP governance (kepemerintahan) mempunyai tiga model, yaitu :
1.        Economic  Governance,
Meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi kegiatan ekonomi di dalam negeri dan transaksi di antara penyelenggara ekonomi, serta mempunyai implikasi kesetaraan, kemiskinan, dan kualitas hidup
2.        Political  Governance,  
mencakup  proses  pembuatan  keputusan  untuk   perumusan kebijakan politik negara.
3.         Administrative Governance, 
berupa sistem implementasi kebijakan. 
Institusi  dari  governance  meliputi  tiga  domein,  yaitu  state  (negara  atau  pemerintah), private  sector(swasta  atau  dunia  usaha),  dan  society (masyarakat)  yang  saling  berinteraksi.    State  berfungsi  menciptakan lingkungan  politik  dan  hukum  yang  kondusif, privat secto menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positifdalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik termasuk mengajak kelompokmasyarakat  untuk  berpartisipasi  dalam  aktivitasekonomi,  sosial  dan  politik.

Menurut AKIP (LAN & BPKP, 2000) bahwa proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam menyediakan Public Good and Sevices di sebut Governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedang praktek terbaiknya disebut Good Governance (kepemerintahan yang baik). Dituntut dalam pelaksanaan yaitu; Koordinasi (aligment) yang baik dan Integrasi, Profesionalisme serta Etos Kerja dan Moral yang tinggi, wujudnya adalah Penyelenggaraan Negara yang solid dan bertanggung jawab dan efektif dan efisien dengan mensinergikan interaksi yang konstruktif diantara domein domein Negara
Sedangkan clean governance dapat diartikan sebagai pemerintahan yang efektif , berwibawa , efisien , jujur, transparan , bertangung jawab dan bersih, yaitu bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme atau pemberantasan KKN serta permasalahan-permasalahan yang lain terkait dengan pemerintahan

Secara umum, istilah good and clean governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan , mempengaruhi , mengendalikan urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. atau dengan kata lain suatu system yang mengatur dan mengendalikan pemerintahan dengan tujuan menggunakan dan melaksanakan kewenangan politik, ekonomi dan administratif agar dapat diselenggarakan dengan baik. Oleh sebab itu dalam prakteknya, konsep good governance harus mendapat dukungan komitmen dari semua pihak yaitu negara (state)/pemerintah (government), swasta (private) dan masyarakat (society). Clean and goodgovernance juga harus didukung dengan asas kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budayaDengan demikian goodgovernancemenekankan arti penting kesejajaran hubungan antara domain negara, sektor swasta/dunia usaha dan masyarakat. Ketiganya berada pada posisi yang sederajat dan saling kontrol untuk menghindari penguasan atau eksploitasi oleh satu domain terhadap domain lainnya.
Manfaat yang akan didapat dengan adanya good governance ialah:

1.      Mendorong tercapainya kesinambungan pemerintahan melalui pengelolaan yang didasarkan pada aspek transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kesetaraan dan kewajaran.
2.      Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial masyarakat.
3.      Meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan
4.      Berkurangnya secara nyata praktek  KKN  di birokrasi  yang antara  lain   ditunjukan dengan hal-hal sebagai berikut : 
a.  Tidak adanya manipulasi pajak; 
b.  Tidak adanya pungutan liar; 
 c.  Tidak adanya manipulasi tanah; 
 d.  Tidak adanya manipulasi kredit; 
 e.  Tidak adanya penggelapan uang negara;dll

5.      Terciptanya  sistem  kelembagaan  dan  ketatalaksanaan  pemerintahan  yangbersifat efektif, efisien, transparan, profesional dan akuntabel : 
a. Sistem kelembagaan lebih efektif, ramping, fleksibel;
b.  Kualitas tata laksana dan hubungan kerja antar lembaga di pusat, dan antar 
pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota lebih baik; 

c.  Sistem administrasi pendukung dan kearsipan lebih efektif dan efisien; 
d.  Dokumen/arsip negara dapat diselamatkan, dilestarikan, dan terpelihara dengan baik;
6.      Terhapusnya  peraturan  perundang-undangan  dan  tindakan  yang  bersifat 
diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat : 
a.       Kualitas pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha (swasta)
Meningkat.
b.      SDM, prasarana, dan fasilitas pelayanan menjadi lebih baik.
c.       Berkurangnya hambatan terhadap penyelenggaraan pelayanan public. 
d.      Prosedur  dan  mekanisme  serta  biaya  yang  diperlukan  dalam pelayananpublik lebih baku dan jelas.
e.       Penerapan sistem merit dalam pelayanan.
f.       Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pelayanan  publik.
g.      Penanganan pengaduan masyarakat lebih intensif.

7.      Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan pelayanan publik
8.      Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah : 
a.         Hukum  menjadi  landasan  bertindak  bagi  aparatur  pemerintah  dan
masyarakat untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik; 
b.      Kalangan dunia usaha/swasta merasa lebih aman dan terjamin ketikamenanamkan modal dan menjalankan usahanya karena ada aturan main (rule ofthe game) yang tegas, jelas, dan mudah dipahami oleh masyarakat; 
c.       Tidak  akan  ada  kebingungan  di  kalangan  pemerintah  daerah  dalam melaksanakan  tugasnya  serta  berkurangnya  konflik  antarpemerintahdaerahserta    antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pelaksanaan good governance yang benar-benar jadi tantangan ialah dengan otonomi Daerah. Bagaimana refunctioning kewenangan-kewenangan pusat daerah. Kemudian reposisi dari para pegawai ke daerah-daerah. Di sesuaikan dengan kemampuan pendanaan daerah baik dari taxing power dan dari tax share.

 Di Indonesia, substansi wacana good governance dapat dipadankan dengan istilah pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah sikap di mana kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang diatur oleh berbagai tingkatan pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber sosial, budaya, politik dan ekonomi. Dalam prakteknya, pemerintahan yang bersih (clean governance) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan dan bertanggung jawab.


2. 2 Karakteristik Good Government
Ada tiga karakteristik dasar good governance, yaitu :
1.      Diakuinya semangat pluralisme.
Pengertian pluralisme sendiri adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.Di akui sebagai semangat pluralisme Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.
2.      Tingginya sikap toleransi
Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana, Toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, ‘‘QuraishShihab‘‘ menyatakan bahwa agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati.
3.      Tegaknya prinsip demokrasi
Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera. Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak, beradab dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat.

2.3Prinsip-prinsip Pokok Good and Clean Governance.
            Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional  dan akuntabel yang bersandar pada prinsip-prinsip good governance. Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam good governance yang harus diperhatikan, yiatu:
1.      Partisipasi (Participation)
2.      Penegakan hukum (rule of law)
3.      Transparansi (transparency)
4.      Responsif (responsive)
5.      Oreintasi kesepakatan (consensus orientation)
6.      Kesetaraan (equity)
7.      Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
8.      Akuntabilitas (accountability)
9.      Visi strategis (strategic vision)
Pengertian dari masing-masing asas yaitu sebagai berikut :
1.     Partisipasi
Pengertian ini tidak ditemui dalam UU No. 28 Tahun 1999, tetapi kalau dipahami misi UU No. 22 Tahun 1999 maka partisipasi masyarakat adalah hal yang hendak diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan ringkas Sukardi (2000) menterjemahkan partisipasi sebagai upaya pembangunan rasa keterlibatan masyarakat dalam berbagai proses yang dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini adalah upaya melibatkan masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dalam teori pengambilan keputusan semakin banyak partisipasi dalam proses kelahiran sebuah politik maka dukungan akan semakin luas terhadap kebijaksanaan tersebut (Dunn, 1997). Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan ke depan pemerintah yang mempunyai peranan terbatas dapat mempercepat pembangunan masyarakat.
Konsep partisipasi tentu sejalan dengan system pemerintahan yang demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Partisipasi secara sederhana berarti adanya peran serta dalam suatu lingkungan kegiatan. Peran serta disini menyangkut akan adanya proses antara dua atau lebih pihak yang ikut mempengaruhi satu sama lain yang menyangkut pembuatan keputusan, rencana, atau kebijakan. Dalam pelayanan publik, partisipasi tidak hanya terjadi diantara pihak pemerintah melalui birokrat yang kemudian membuat kebijakan mengenai bentuk pelayanan yang akan diberikan, tetapi juga harus melibatkan masyarakat sehingga mengetahui lebih lanjut apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dalam pelayanan publik. Dalam hal ini, pemerintah melalui pihak birokrat harus berperan sebagai fasilitator dan katalisator yang memberikan pelayanan terbaik yang memang sesuai.
Tujuan utama dari adanya partisipasi sendiri adalah untuk mempertemukan kepentingan yang sama dan berbeda dalam suatu perumusan dan pembuatan kebijakan secara berimbang untuk semua pihak yang terlibat dan terpengaruh. Keterlibatan masyarakat lebihkepada pengharapan akan tertampungnya berbagai aspirasi dan keluhan masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan oleh birokrat selama ini. Masyarakat terlibat baik dalam bentuk perencanaan untuk mengedepankan keinginan terhadap pelayanan publik, perumusan ataupun pembuatan kebijakan, serta juga sebagai pengawas kinerja pelayanan. Adapun criteria yang perlu dipenuhi dalam pengaplikasian pendekatan partisipatif ini (Lijan Poltak Sinambela, 2006), menyangkut :
a.       Pelibatan seluruh stake holder untuk setiap arena perumusan dan penetapan kebijakan.
b.      Penguatan institusi-institusi masyarakat yang legitimate untuk menyuarakan seluruh aspirasi yang berkembang.
c.       Penciptaan proses-proses politik yang negosiatif untuk menentukan prioritas atas collective agreement.
d.      Mendorong pemberdayaan masyarakat melalui pembelajaran kolektif sebagai bagian dari proses demokrasi
2.     Penegak Huhum(rule of law)
Rule of low berarti penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu, yang mengatur hak-hak manusia yang berarti adanya supremasi hukum. Menurut Bargir manan (1994), supremasi hukum mengandung arti :
1. Suatu tindakan hukum hanya sah apabila dilakukan menurut atau berdasarkan aturan hukum tertentu (asas legalitas). Ketentuan hukum hanya dapat dikesampingkan dalam hal kepentingan umum benarbenar menghendaki atau penerapan suatu aturan hukum akan melanggar dasar-dasar keadilan yang berlaku dalam masyarakat (principlesof natural justice)

2. Ada jaminan yang melindungi hak-hak setiap orang baik yang bersifat asasi maupun yang tidak asasi dari tindakan pemerintah atau pihak lainnya. Asas penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa.
Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud good and clean governance, harus diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Supremasi hukum,
yakni setiap tindakan unsur-unsur kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen. Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang dimilikinya).
b.      Kepastian hukum,
bahwa setiap kehidupan berbangsa bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan tidak bertentangan antara suku , agama  dan lainnya.
c.       Hukum yang responsif,
yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan publik secara adil.
d.      Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif, yakni penegakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu, diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertanggung jawaterhadap kebenaran hukum.
e.       Independensi peradilan,
yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh penguasa atau kekuatan lainnya.



3.     Transparansi (transparency)
Adanya transparansi / keterbukaan terhadap publik sehingga dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah dan organisasi badan usaha, terutama para pemberi pelayanan publik. Transparansi menyangkut kebebasan informasi terhadap publik. Satu hal yang membedakan organisasi swasta dan publik adalah dalam masalah transparansi sendiri. Dalam organisasi swasta, keterbukaan informasi bukanlah suatu hal yang menjadi harus. Banyak hal yang dirasa harus dirahasiakan dari publik dan hanya terbuka untuk beberapa pihak. Sementara itu, organisasi publik yang bergerak atas nama publik mengharuskan adanya keterbukaan agar dapat menilai kinerja pelayanan yang diberikan. Dengan begini, akan terlihat bagaimana suatu system yang berjalan dalam organisasi tersebut.
Menurut penjelasan Pasal 3 angka 4 UU No. 28 tahun 1999 prinsip  transparan diartikan sebagai berikut :
“Asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur,dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara”.
Dari pengertian tersebut terlihat bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang benar dan jujur tentang penyelenggaraan negara. Ini adalah peran serta masyarakat secara nyata dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih. Secara lebih jelas peran serta masayarakat ini ditentukan dalam PP No. 68 Tahun 1999. Dalam Pasal 2 ayat (1) dikatakan peran serta masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk :

a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;
b. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara.

Pengunaan hak dalam butir a, b dan c tersebut rakyat mendapat perlindungan hukum. Untuk itu semua, menurut ketentuan Pasal 3 dan 4 dalam mempergunakan hak tersebut rakyat

berhak mempertanyakan langsung kepada instansi terkait atau komisi pemeriksa. Hal itu dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Penyampaian itu dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Kalau dibandingkan dengan negara lain yang telah lama memberikan perhatian terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih, Indonesia masih agak tertinggal karena pada negara tersebut akses informasi masyarakat (publicaccesstoinformation) terhadap penyelenggaraan negara diakui dengan undang-undang atau informationact. Dibandingkan dengan PP, pengaturan dengan UU tentu mempunyai kewibawaan yang lebih tinggi untuk dipatuhi.

Asas transparansi adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good and clean governance. Akibat tidak adanya prinsip transparan ini, Indonesia telah terjerembab ke dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:

a.       Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
b.      Kekayaan pejabat politik.
c.       Pemberian penghargaan.
d.      Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e.       Kesehatan.
f.       Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g.      Keamanan dan ketertiban.
h.      Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
Dalam hal penetapan posisi jabatan publik harus dilakukan melalui mekanisme test and proper test (uji kelayakan) yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang dilakukan oleh lembaga legislatif maupun komisi independen, seperti komisi yudisial, kepolisian dan pajak.






4.     Responsif (responsive)
Asas responsif adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip goodandcleangovernance bahwa pemerintah harus cepat tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat,  harus memehami kebutuhan masyarakat, harus proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan
masyarakat. Birokrat harus dengan segera menyadari apa yang menjadi kepentingan public (publicinterest) sehingga cepat berbenah diri. Dalam hal ini, Birokrasi dalam memberikan pelayanan publik harus cepat beradaptasi dalam memberikan suatu model pelayanan.
Masyarakat adalah sosok yang kepentingannya tidak bisa disamakan secara keseluruhan dan pada saatnya akan merasakan suatu kebosanan dengan hal yang stagnan atau tidak ada perubahan, termasuk dalam pemberian pelayanan. Masyarakat selalu akan menuntut suatu proses yang lebih mudah/simple dalam memenuhi berbagai kepentingannya. Oleh karena itu, Birokrasi harus dengan segera mampu membaca apa yang menjadi kebutuhan publik.
Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni etika individual dan sosial.
1.      Kualifikasi etika individual menuntut pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan layolitas profesional.
2.      Etika sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas terhadap berbagai kebutuhan publik         
5.     Berorientasi pada kesepakatan (concensusorientation)
Berorientasi pada consensus berarti pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat. Hal ini sejalan dengan konsep partisipatifdimana adanya keterlibatan dari masyarakat dalam merumuskan secara bersama mengenai hal pelayanan publik.
Cara pengambilan keputusan konsensus, selain dapat memuaskan semua pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan mengikat sebagian besar komponen yang bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa terhadap semua yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.
Semakin banyak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif, maka akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya, dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan.

6.     Kesetaraan (equity)
Asas kesetaraan adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas inimengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah bersikap dan berperilaku adil dalam halpelayanan publik tanpa membedakan suku, jenis, keyakinan, jenis kelamin, dan kelas social.
Keadilan berarti semua orang (masyarakat), baik laki-laki maupun perempuan, miskin dan kaya memilik kesamaan dalam memperoleh pelayanan publik oleh birokrasi. Dalam hal ini, birokrasi tidak boleh berbuat diskriminatif dimana hanya mau melayani pihak-pihak yang dianggap perlu untuk dilayani, sementara ada pihak lain yang terus dipersulit dalam pelayanan bahkan tidak dilayani sama sekali. Konsep keadilan masih terlihat sulit diterpakan dalam pelayanan publik di Indonesia. Hal ini bisa dipengaruhi karena konflik kepentingan birokrasi
7.     Efektivitas (effectiveness) dan efisiensi (efficiency)
Efektif secara sederhana berarti tercapainya sasaran dan efisien merupakan bagaimana dalam mencapai sasaran dengan sesuatu yang tidak berlebihan (hemat). Dalam bentuk pelayanan publik, hal ini berarti bagaimana pihak pemberipelayanan melayani masyarakat seefektif mungkin dan tanpa banyak hal-hal atau prosedur yang sebenarnya bisa diminimalisir tanpa mengurangi efektivitasnya.Pemerintahan yang baik dan bersih harus memenuhi criteria efektif (berdaya guna)dan efesien ( berhasil guna). Efektivitas dapat diukur dari seberapa besar produk yang dapatmenjangkau kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok. Efesiensi umumnya diukurdengan rasionalisitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat

8.     Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat public terhadap masyarakat yang memberinya wewenang untuk mengurusi kepentingan mereka. Setiap pejabat public dituntut untuk mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik, akuntabilitas dapat dinilai sudah efektifkah prosedur yang diterapkan oleh organisasi tersebut, sudah sesuaikah pengaplikasiannya, dan bagaimana dengan pengelolaan keuangannya, dan lain-lain. Dalam birokrasi, akuntabilitas yang berarti akuntabilitas publik menjadi sesuatu yang sepertinya menjadi sosok yang menakutkan. Hal ini tentunya disadari dari ketidakjelasan atas kinerja birokrat itu sendiri. Namun, ternyata, banyak cara yang sering dilakukan para birokrat dalam menutupi kesalahan sehingga akuntabilitasnya terlihat baik. Menurut Turner dan Hulme (Mardiasmo, 2002), menerapkan akuntabilitas memang sangatlah sulit, bahkan lebih sulit dalam memberantas korupsi. Akuntabilitas saat ini menjadi konsep utama yang harus diterapkan dalam organisasi publik dalam mendongkrak kinerja mereka tentunya. Tuntutan akan akuntabilitas tidak hanya menekankan pada tanggung gugat secara vertikal dalam arti antara bawahan terhadap atasan, tetapi juga secara horisontal yang berarti terhadap masyarakat. Elwood (Mardiasmo,2002) menyatakan bahwa ada empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi dalam organisasi sektor publik, yang juga termasuk birokrasi, yakni :
· Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum   
   (accountabilityforprobityandlegality)
· Akuntabilitas Proses (processaccountability)
· Akuntabilitas Program (program accountability)
·Akuntabilitas Kebijakan (policyaccountability)       
9.     Visi strategis (strategic vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka realisasi goodandclengovernance. Dengan kata lain, kebijakan apapun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya untuk sepuluh atau duapuluh tahun ke depan. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh kedepan. Pemerintah dan masyarakat harus memiliki kesatuan pandangan sesuai visi yang diusung agar terciptanya keselarasan dan integritas dalam pembangunan, dengan memperhatikan latar belakang sejarah, kondisi sosial, dan budaya masyarakat.

2.3       Peran SocialControl Terhadap Transparansi Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih.

Cleangovernmentberasal dari kata bahasa Inggris yang bila diterjemahkan secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti “pemerintah yang bersih”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemerintah adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan; menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya. Istilah cleangovernmentpada dasarnya menunjukkan pada penyelenggara pemerintahan yang mendapatkan amanat dan tanggung jawab bersama elemen terkait untuk merumuskan kebijakan dan melakukan tindakan atau cara untuk mengarahkan, mengendalikan dan menyelesaikan masalah masyarakat dalam suatu negara. Dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme, berkaitan dengan cleangovernment, disebutkan bahwa penyelenggara negara adalah:            
1. Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif
2. Pejabat negara yang menjalankan fungsi legislatif
3. Pejabat negara yang menjalankan fungsi yudikatif
4. Pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang yang berlaku.

Sedangkan ketentuan cleangovernment sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) dan ayat (7) UU No. 28 tahun 1999 adalah penyelenggara negara yang :



1. Menaati asas-asas umum penyelenggaraan Negara yang bersih.
2. Bebas dari praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
3. Bebas dari perbuatan tercela lainnya.
4. Menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum.
Merujuk pada kriteria-kriteria tersebut di atas, maka dapat di artikan cleangovernment sebagai para penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif maupun pejabat lain yang diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan suatu negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara yang bersih, serta memiliki iktikad baik untuk membangun negara dan bangsanya dengan tetap menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip
\pokok goodandcleangovernance, setidaknya dapat dilakukan melalui prioritas program:
(a) penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan,
(b) kemandirian lembaga peradian,
(c)profesionalitas dan integritas aparatur pemerinrtah,
(d) penguatan partisipasi masyarakatmadani, dan
(e) peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.Dengan pelaksanaan otonomi daerah, pencapaian tingkat kesejahterandapatdiwujudkan secara lebih tepat yang pada akhirnya akan mendorong kemandirianmasyarakat
Adapun asas-asas umum penyelenggaraan cleangovernment adalah :
1. Asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan peraturan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
2. Asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3. Asas kepentingan umum, adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4. Asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak pribadi, golongan dan rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegangn kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan cleangovernment yang kedua menyebutkan tentang penyelenggara negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahkan, dalam literatur lain, istilah cleangovernment hanya dikonsepsikan sebagai pemerintah yang bersih dari unsur KKN. Doddy Wuryanto misalnya, memandang agenda cleangovernment dari perspektif pemberantasan korupsi. Hal tersebut menandakan pentingnya unsur ini sebagai karakter utama pemerintah yang bersih yang dapat diukur dengan tolak ukur yang jelas. Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah satu tujuan dari implementasi goodandcleangovernance. Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintahan pada akhirnya melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok goodandcleangovernance, setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni :


1.      Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan rakyat (MPR, DPR, dan DPRD). Dalam rangka peningkatan fungsi sebagai pengontrol jalannya pemerintahan. Selain melakukan checkandbalances, lembaga legislatif harus pula mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga eksekutif.
2.      Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip goodandcleangovernance peningkatan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak dilakukan, karena aparat penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakan hukum dan keadilan.
3.      Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma aparatur negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayan rakyat) harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif dan berkualitas.
4.      Penguatan partisipasi Masyarakat Madani ( civilsociety). Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsur penting lainnya dalam merealisasikan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Peran aktif masyarakat dalam proses kebijakan publik pada dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM.

5.      Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah. Untuk merealisasikan prinsip-prinsip cleanandgoodgovernance, kebijakan otonomi daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model pemerintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.

Lahirnya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara cepat guna mendorong kemandirian masyarakat.

2.4       Pemerintahan dan moralitas    

Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan baik tidak terlepas dari moralitas para penyelenggaranya. Moral menjadi kontrol utama dalam kegiatan penyelenggaraan yang berorientasi bagi kepentingan rakyat. Moralitas bersifat naturalistik, dalam arti bahwa moralitas dipandang sebagai bagian dari dunia alami dan umat manusia dipandang sebagai amat peduli akan pencapaian hidup yang baik. Moralitas juga bersifat rasionalistik dan objektivistik, dalam arti percaya dan percaya dan meyakini akan adanya wujud kebenaran yang obyektif, dan bahwa akal budi merupakan sumber pengetahuan yang benar dari kebenaran moralitas (William M. Kurtines, 1992).
Pendapat yang mengkaitkan pemerintahan dan moralitas memiliki latar belakang tersendiri. Imam Alghozali salah seorang cendikiawan Islam, mengemukakan teori yang menggabungkan negara dengan moralitas yang dikenal dengan SiyasatulAkhlaqatau negara moral. Pendapat ini memiliki kemiripan dengan pendapat para tokoh kristenAugustinus yang diperkuat oleh Thomas Aquinas tentang negara tuhan (civitadei).
 Seiring dengan teori Alghozali bila dicermati fenomena sosiologis bangsa Indonesia akan ditemukan dua kecenderungan yang saling berlawanan:

1.    Bangsa Indonesia menyebut dirinya sebagai bangsa yang relijius yang ditunjukan dengan simbol-simbol yang sangant jelas, dimana setiap penduduk negeri ini menyatakan keagamaannya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP), pembangunan tempat ibadah yang seolah berlomba antara satu dengan lainnya, dan dari tempat-tempat suci tersebut berkumandang seruan dan ajakan melakukan kebaikan, dan banyak kegiatan lain yang menunjukan simbol keagamaan, menunjukan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis.
2.    Fenomena yang bertolak belakang dan berseberangan dengan gambaran suasana dan gambaran suasana dan nuansa keagamaan diatas. Sering kita melihat pelanggaran moral yang di anggap remeh walaupun ajaran agama yang di anutnya mengecam perilaku tersebut dengan ancaman yang ringan hingga ketingkat yang sangat keras. Sekecil apapun pelanggaran moral, bila hal itu menggejala dan sampai


menjadi budaya, maka akan merapuhkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Contoh yang paling menggelisahkan bangsa Indonesia adalah adanya kecenderungan untuk berbuat korup dan menyalahkan gunakan kekuasaan. Sejarah Indonesia selama beberapa dekade ini sarat dengan muatan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Atribut-atribut mulia keagamaan di koyakkan oleh perilaku korup dan penyalahguanaan wewenang dalam birokrasi. Dari yang kita pelajari pada pembahasan di atas dapat disimpulkan:

1)      Pendidikan dan moralitas merupakan dua pilar yang sangat penting bagi teguh dan kokohnya suatu bangsa. Pendidikan merupakan suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi seseorang yang memiliki kekuatan intelekual dan spiritual, seihingga dapat meningkatkan kualitas diri dalam segala aspek kehidupan yang memiliki tujuan pasti.
2)      Krisis moral yang berkembang dalam masyarakat suatu bangsa akan sangat berbahaya bagi kehidupan. Bahaya tersebut antara lain lahirnya budaya tamak dan korup yang akan berakibatn pada tindakan penyalahgunaan wewenag dalam pemerintahan.
3)      Pendidikan dan pencerahan moral merupakan tanggung jawab semua pihak. Namun secara spesifik pendidik memiliki tugas khusus untuk menunjukan kemampuan prima melihat moralitas bangsa serta mencarikan solusi-solusi yang arif dan realistis guna menghindari bangsa ini dari kehancuran. Sifat buruk yang terdapat dalam diri seseorang harus dilawan dengan ilmu dan akhlak yang mulia sesuai dengan tuntunan ajaran agama.


2.5            GoodandCleanGovernance dan Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik

Pengertian birokrasi , birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bureau+cracy) , di artikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida , dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah dari pada di atas, biasanya di temui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.
2.5.1        Birokrasi menurut para ahli :
Max Weber
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi. Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia memiliki otoritas. Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele. Meskipun demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira Tentara, Pendeta, Manajer Pabrik semuanya adalah pejabat yang menghabiskan waktunya untuk menginterpretasikan dan memindahkan instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi adalah orang yang diangkat, bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi. Weber memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial (Sarundajang, 2003).

Farel Heady (1989)
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhibekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan. Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional.

Pelayanan umum atau pelayanan publik adalah pemberian jasa baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan/atau kepentingan masyarakat. Dengan demikian, yang bisa memberikan pelayanan publik kepada masyarakat luas bukan hanya instansi pemerintah, melainkan juga pihak swasta.
Pelayanan publik kepada masyarakat bisa diberikan secara cuma-cuma ataupun disertai dengan pembayaran. Pelayanan publik yang bersifat cuma-cuma sebenarnya merupakan kompensasi dari pajak yang telah dibayar oleh masyarakat itu sendiri. Adapun, pemberian pelayanan publik yang disertai dengan penarikan pembayaran, penentuan tarifnya didasarkan pada harga pasar ataupun menurut harga yang paling terjangkau bukan berdasarkan ketentuan sepihak aparat atau instansi pemerintah.
Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan goodandcleangovernance di Indonesia

Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi area di mana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi;

kedua,pelayanan publik adalah wilayah di mana berbagai aspek goodandcleangovernance bisa diartikulasikan secara lebih mudah;

ketiga,pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance, yaitu pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar. Dengan demikian, pelayanan publik menjadi titik pangkal efektifnya kinerja birokrasi.


Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator sebagai berikut :

1.      Indikator masukan ( input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan dan sebagainya.
2.      Indikator proses ( process), yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yanag berupa fisik atau nonfisik.
3.       Indikator produk ( output), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau nonfisik.
4.      Indikator hasil ( outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya produk kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
5.      Indikator manfaat ( benefit ), adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan
6.       Indikator dampak ( impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang ditetapkan.

Agar lembaga pemerintah lebih mampu melaksanakan fungsi kepemerintahan yang baik (goodgovernance), perlu diciptakan suatu sistem borikrasi dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.            Memiliki struktur yang sederhana, dengan sunber daya manusia yang memiliki kompetensi melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan (pengembangan kebijakan dan pelayanan) secara arif, efesien dan efektif.
b.           Mengembangkan hubungan kemitraan ( partnership) antara pemerintah dan setiap unsur dalam masyarakat yang bersangkutan (tidak sekedar kemitraan internal diantara sesama jajaran instansi pemerintahan saja


c.            Memahami dan komit akan manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.
d.       Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai utuk mendorong terciptanya motivasi, kemampuan dan keberanian menanggung resiko (risktaking)  berinisiatif, partisipatif, yang telah diperhitungkan secara realistik dan rasional.
e.        Adanya kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai-nilai internal (kode etik) administrasi publik, juga terhadap nilai-nilai etika dan moralitas yang diakui dengan junjungan tinggi secara sama dengan masyarakat yang dilayani.
                                                      
2.5.2        Pandangan Masyarakat terhadap Birokrasi
·         Kualitas kerja rendah
·         Biaya mahal dan boros
·         Miskin informasi dan lebih mementingkan diri sendiri
·         Banyak melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku Ã  Penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan, KKN
·         Sewenang-wenang
·         Arogan
2.5.3        Permasalahan Utama
·         Kelembagaan dan tatalaksana: struktur organisasi, inkonsistensi dan instabilitas peraturan perundang-undangan, penggunaan TI
·         Sumberdaya manusia: kualitas, sistem penggajian
·         Pengawasan: akuntabilitas, etika dan moral
·         Pelayanan Publik: standar pelayanan Organisasi: struktur besar, tidak sesuai dengan kebutuhan, bentuk organisasi yang tidak tepat
·         Personil: kepangkatan, isu lokalisme, mutasi, peningkatan jumlah pegawai honorer
·         Keuangan: anggaran berbasis kinerja, sistem perencanaan yang rumit dan hirarkhis, masalah SPM dan Standar Analisis Biaya (SAB), politisasi anggaran, transparansi
·         Perencanaan: sistem perencanaan, keterlibatan masyarakat




2.5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi
Faktor-faktor yang memempengaruhi kinerja birokrasi antara lain :
1.      manajemen organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan birokrasi;
2.      budaya kerja
3.      organisasi pada birokrasi
4.      kualitas sumber daya manusia yang dimiliki birokrasi
5.      Kepemimpinan birokrasi yang efektif
6.      koordinasi kerja pada birokrasi.

Tabel Ciri-Ciri Tata Pemerintahan Yang Baik (GoodGovernance Dan Tata Pemerintahan Yang Buruk (BedGovernance)

Perbandingan Ciri-ciri Pemerintahan yang baik dengan Pemerintahan yang buruk
Pemerintahan Yang Baik
Pemerintahan Yang Buruk

1.      Proaktif
2.      Ramah dan Profesional
3.      Transparan
4.      Mengutamakan proses dan produk
5.      Proporsional dan profesional
6.      Bekerja secara sistemik
7.      Pembelajaran sepanjang hayat
8.      Menempatkan stakeholder&shareholderditempat utama


1.      Lamban dan bersifat reaktif
2.      Arogan
3.      Korup
4.      Birokratisme
5.      Boros
6.      Bekerja secara naluriah
7.      Enggan berubah
8.      Kurang berorientasi pada kepentinngan publik



2.6       Strategi Penataan Aparatur dalam Pelaksanaan GoodGovernance Menuju Pemerintahan Yang Bersih
Untuk mewujudkan pelaksanaan goodgovernance secara konsisten dan sustainable (berkelanjutan) bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi goodgovernance tersebut diarahkan pada upaya penciptaan aparatur yang bersih dan berwibawa. Untuk itu, jajaran birokrasi pemerintahan harus memahami esensi birokrasi itu sendiri dikatkan dengan penciptaan goodgovernance yang dimaksud.
Dalam konteks ini David Obsorn dan Gaebler (1992) menyampaikan 10 konsep birokrasi sebagai berikut :
1.      CatalyticGovernment : Steeringratherthanrowing. Aparatur dan birokrasi berperan sebagai katalisator, yang tidak harus melaksanakan sendiri pembangunan tapi cukup mengendalikan sumber-sumber yang ada di masyarakat. Dengan demikian aparatur dan birokrasi harus mampu mengoptimalkan penggunaan dana dan daya sesuai dengan kepentingan publik.
2.      Community-ownedgovernment : empowercommunitiestosolvetheirownproblems, ratherthanmarelydeliverservice. Aparatur dan birokrasi harus memberdayakan masyarakat dalam pemberian dalam pelayanannya. Organisasi-organisasi kemasyarakatan sepeti koperasi, LSM dan sebagainya, perlu diajak untuk memecahkan permasalahannya sendiri, seperti masalah keamanan, kebersihan, kebutuhan sekolah, pemukiman murah dan lain-lain.
3.      Competitivegovernment : promoteandencourragecompetition, ratherthanmonopolies”. Aparatur dan birokrasi harus menciptakan persaingan dalam setiap pelayanan. Dengan adanya persaingan maka sektor usaha swasta dan pemerintah bersaing dan terpaksa bekerja secara lebih profesional dan efisien.
4.      Mission-drivengovernment : bedrivenbymissionratherthanrules”.Aparatur dan birokrasi harus melakukan aktivitas yang menekankan kepada pencapaianapa yang merupakan “misinya” dari pada menekankan pada peraturan-peraturan. Setiap organisasi diberi kelonggaran untuk menghasilkan sesuatu sesuai dengan misinya.
5.      Result-orientedgovernment : resultorientedbyfundingoutcomes ratherthaninputs. Aparatur dan birokrasihendaknya berorientasi kepada kinerja yang baik. Instansi yang demikian harus diberi kesempatan yang lebih besar dibanding instansi yang kinerjanya kurang.
6.      Cuntomer-drivergovernment : meettheneedsofthecustomerratherthanthebureaucracy. Aparatur dan birokrasi harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan mayarakat bukan kebutuhan dirinya sendiri.
7.      “enteprisinggovernment : concretrateonearningmoneyratherthanjustspedingit. Aparatur birokrasi harus memiliki aparat yang tahu cara yang tepat dengan menghasilkan uang untuk organisainya, disamping pandai menghemat biaya. Dengan demikian para pegawai akan terbiasa hidup hemat.

8.      Anticipatorygovernment : invest in preventingproblemsratherthancuringcrises. Aparatur dan birokrasi yang antisipasif. Lebih baik mencegah dari pada memadamkan kebakaran. Lebih baik mencegah epidemi daripada mengobati penyakit. Dengan demikian akan terjadi “mental swich” dalam aparat daerah.

9.           Decentralilazedgovernment : decentralizedauthorityrahterthanbuildhierarcy. Diperlukan desentralisasi dalam pengelolaan pemerintahan, dari berorientasi hirarki menjadi partisipasif dengan pengembangan kerjasama tim. Dengan demikian organisasi bawahan akan lebih leluasa untuk berkreasi dan mengambil inisiatif yang diperlukan.
10.       Market-orientedgovernment : solveproblembyinfluencingmarketforces  ratherthanbytreatingpublicprograms. Aparatur dan birokrasi harus memperhatikan kekuatan pasar. Pasokan didasarkan pada kebutuhan atau permintaan pasar dan bukan sebaliknya. Untuk itu kebijakan harus berdasarkan pada kebutuhan pasar.
                                                                                                                        
Melengkapi konsep diatas, Obsorn dan Peter Plastrik (1996) menyampaikan lima (5) strategi untuk pengembangan konsep ReinventingGovernment yang dikenal dengan istilah “The Five C’S”, sebagai berikut :
1.      Strategi inti (Core Strategi) yaitu strategi merumuskan kembali tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk otonomi daerah melalui penetapan visi, misi, tujuan, dan sasaran, arah kebijakan serta peran-peran kelembagaan serta individu aparatur penyelenggara pemerintahan.
2.      Strategi konsekuensi (consekquency strategi), dalam hal ini perlu dirumuskan dan ditata kembali pola-pola insensif kelembagaan maupun individual, baik melalui pendekatan manajemen kompetitif, manajemen bisnis (komporatisasi dan privatisasi), atau manajemen kinerja(performancemanagement).
3.      Strategi pemakai jasa (customer strategi) aparatur birokrasi dalam hal ini perlu melakukan reorientasi dari kepentingan politik pemerintahan, serta orientasi pada kepentingan kelembagaannya, kearah kepentingan pemenuhan kebutuhan berdasarkan pilihan-pilihan masyarakat (pemakai jasa publik), peningkatan kualitas layanan, serta kompetisi pasar yang sehat.
4.      Strategi pengendalian ( controlstrategy), yaitu adanya perumusan kembali dalam upaya pengendalian organisasi, mulai dari :
a.       Pengendalian Strategi yang merupakan proses perumusan dan penetapan organisasi.
b.      Pengendalian mamajemen, yang merupakan pengendalian dalam menjaga agar pelaksanaan telah ditetapkan.
5.      Pengendalian tugas sebagai pengendalian yang sifatnya pelaksana (operasional).
a.       Ketiga pengendalian ini bisa dikembangkan melalui pengembangan struktur organisasi kelembagaan yang bertumpu pada kekuatan aparatur seperti gugus kendali mutu ( total qualitycontrol).

b.      Strategi budaya / kultur (cultur Strategi),  yaitu adanya upaya reorientasi perilaku dan budaya aparatur serta birokrasi yang lebih terbuka dan mampu merevitalisasi dan mengadopsi nilai-nilai budaya (baik budaya lama maupun baru), yang lebih menyentuh nilai-nilai keadilan dan hati nurani.

2.7              HUBUNGAN ANTARA GOOD GOVERNANCE DENGAN OTONOMI DAERAH

Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama lainnya, yaitu :
1. Urusan Pemerintahan
2. Kelembagaan
3 Personil
4. Keuangan
5. Perwakilan
6. Pelayanan Publik
7. Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD, dari Papua penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.

Meskipun dalam pencapaian GoodGovernance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk

mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan konsep goodgovernance dalam penyelenggaraan pemerintahan di indonesia.

2.7.1    Optimalitas pelaksanaan Otonomi Daerah

Goodgovernance dapat ditinjau sebagai bentuk pergeseran paradigma konsepgoverment (pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Secara epistemologis, perubahan paradigma goverment berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokrasi sebagai unit pelaksana dan penyedia layanan bagi masyarakat, yang semula birokrat melayani kepentingan kekuasaan menjadi birokrat yang berorientasi pada pelayanan publik.
 Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat menciptakan suasana yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih jauh kita  menelaah kiat-kiat dalam menciptakan regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya dengan memahami terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.
 Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang mampu memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi fakir miskin, menyediakan sembako murah, memberikan iklik investasi yang kondusif dan bermacam kebaikan lainnya. Dengan kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah pemerintahan yang baik, sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan  pemerintahan  yang miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (bad governance).
Berbicara tentang goodgovernance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan stakeholder (pemangku kepentingan). Oleh karena itu, goodgovernance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang cara memperkuat hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan. Hubungan yang harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab, hubungan yang tidak harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat menghambat kelancaran proses pembangunan.

















2.7.2    Otonomi Daerah dan Upaya Menciptakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih 
Perubahan paradigma hubungan pusat dan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 adalah merupakan upaya melakukan reformasi total penyelenggaraan negara di daerah. Dampak reformasi total ini ditinjau dari segi politik ketatanegaraan membuktikan telah terjadi pergeseran paradigma dari pemerintahan yang bercorak highlycentralized menjadi pola yang lebih terdesentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan otonomi daerah secara lebih luas sesuai dengan karakter khas yang dimiliki daerah. Hal ini dilakukan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat sesuai dengan potensi wilayahnya.
Perubahan yang dilakukan ini adalah untuk mewujudkan masyarakat madani dalam kehidupan berpemerintahan, bermasyarakat dan bernegara yang memiliki nilai-nilai goodgovernance atau behoorlijkbestuur (Koswara, 2000). Hal ini sangat diperlukan karena berkurangnya secara signifikan peranan pemerintah pusat di daerah terutama dalam melakukan pengawasan preventif. Oleh karena itu, unsur-unsur pelaksanaan pemerintahan yang baik dan benar dapat memainkan peranan penting di daerah. Apalagi UU No. 22 Tahun 1999 secara terang mengatakan bahwa aspirasi rakyat akan menjadi roh pelaksanaan pemerintahan daerah.
Sehubungan dengan goodgovernance dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada tiga hal penting yang harus dilakukan di tingkat daerah. Pertama, transparasi kebijakan. Pendapat ini muncul karena pada era Orde Baru nafas birokrasi sebagai alat kekuasaan yang represif sangat menonjol. Perumusan kebijakan pembangunan dan pemerintahan yang cenderung elitis, tertutup, dan berbau nepotis. Oleh karena itu, dalam era otonomi daerah, kondisi ini diharapkan tidak muncul lagi karena perilaku penyelenggara negara harus mengedepankan terjadinya transparasi kebijakan publik (Hadimulyo 2000).
Kedua, partisipasi masyarakat. Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 memberikan peluang kepada DPRD untuk melakukan kontrol kepada eksekutif tapi hal itu dirasakan belum cukup karena adanya indikasi bahwa DPRD dan pihak eksekutif “bermain mata” dalam menyikapi kebijakan-kebijakan politik yang strategis di daerah. Untuk mencegah ini diperlukan peranan yang optimal dari masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan. John Fenwick (1995) mengatakan bahwa dalam penataan pemerintahan daerah sudah waktunya diperlakukan prinsip thepublic as consumers. Hal ini dilakukan agar pemerintah lebih mengambil posisi sebagai fasilitator dan advokator kepentingan masyarakat.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah prinsip ini sudah pada tempatnya dilaksanakan di daerah karena dari dulu masyarakat hanya dilibatkan secara terbatas dalam memanajemen pemerintahan dan pembangunan. Bahkan dalam waktu yang lama rakyat lebih banyak dijadikan sebagai objek pembangunan.

2.8            GoodandCleanGovernance dan Gerakan Anti korupsi
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus / politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Korupsi selalu diidentikkan dengan mencuri, mengambil hak orang lain. Korupsi diartikan dengan mark up dana di luar batas yang seharusnya. Korupsi dimaknai sebagai tindakan mengambil hak orang. Setidaknya itu sementara pemaknaan orang atas istilah bernama korupsi.
 Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya.
 Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi merupakan permasalahan besar yang merusak keberhasilan pembangunan nasional. Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatnguna meraih keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara secara spesifik.Korupsi menyebabkan ekonomi menjadi labil, politik yang tidak sehat, dan kemerosotanmoral bangsa yang terus menerus merosot.
Jeremy Pope mengemukakan bahwa korupsi terjadi jika peluang dan keinginanberada dalam waktu yang bersamaan. Peluang dapat dikurangi dengan cara mengadakanperubahan secara sistematis. Sedangkan keinginan dapat dikurangi denagncaramembalikkan siasat “laba tinggi, resiko rendah” menjadi “laba rendah, resikotinggi”:dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas.

 Penanggulangan korupsi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
  Adanya politicalwill dan politicalaction dari pejabat negara dan pimpinan lembagapemerintahan pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan tindakan korupsi.
  Penegakan hukum secara tegas dan berat ( mis. Eksekusi mati bagi para koruptor)
  Membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pemberantasan korupsi.
  Membangun mekanisme penyelenggaran pemerintahan yang menjaminterlaksankannya praktik goodandcleangovernance.
  Memberikan pendidikan antikorupsi, baik dari pendidikan formal atau informal.
  Gerakan agama anti korupsi yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritual antikorupsi.




Kondisi yang mendukung munculnya korupsi di negara berkembang :

• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung  
   kepada  rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan  
   politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
  yang cukup ke pemilihan umum.
• Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan .
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.

2.8.1        IMPAK KORUPSI
Jika di atas kita mngakui bahwa salah satu penyebab korupsi adalah kemiskinan maka koropsipun mnyebabkan kemiskinan di negara berkembang,kemiskinan tersebut di sebabkan para elit negara berkembang mengambil kekayaan negerinya untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya.

Beberapa hal yang di sebabkan oleh prilaku korupsi adalah :
1.      Tindak korupsi mencerminkan kegagalan mencapai tujuan tujuan yang di tetapkan pemerintah.
2.      Koropsi akan segera menular ke sektor  swasta dalam situasi yang sulit diramalkan,atau melemahkan investasi dalam negri,danmnyisihkan pendatang baru,dengan demikian mngurangi partisipasi  dan pertumbuhan sektor swasta.
3.      Korupsi mencerminkan kenaikan hargaadministrasi(pembayar pajak harus ikut mnyuap karna  membayar beberapa kali lipat untuk pelayan yang sama.
4.       Jika korupsi merupakan bentuk pembayaran yang tidak sah,hal ini akan mngurangi jumlah dana yang di sediakan untuk publik.
5.      Korupsi merusak mental aparat pemerintah,melunturkan keberanian yang di perlukan untuk mematuhi standar etika yang tinggi.
6.      Koropsi dalam pemerintahan menurunkan rasa hormat pada kekuasaan yang akhirnya menurunkan legilitimasi pemerintah.
7.      Jika elitbpolitik dan penjabat tinggi pemerintah secara luas di anggap korupsi,maka akan mnyimpulkan tidak ada alasan bagi puplik untuk tidak boleh korupsi juga.
8.      Seorang penjabat yang korupsi adalah pribadi yang hanyya memikirkan diri sendiri tidak mau berkorban demi kemakmuran bersama untuk masa yang akan datang.
9.       Korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar dari sisi pruduktivitas,karna waktu dan energi habis untuk menjalin hubungan guna untuk mnghindriatumngalahkansistem,untukmngkatkan kepercayaan dan memberikan alasan yang objektivmngenai permintaan layanan yang di perlukan.
10.  Korupsi karna merupakan ketidakadilan yang di lembagakan ,mau tidak mau akan menimbulkan perkara yang harus di bawa ke pengadilan  dan tuduhan tuduhan palsu yang di gunakan pada penjabat yang jujur untuk tujuan pemerasan.
11.  Bentuk korupsi yang paling menonjol di beberapa negara uang pelicin atau uang rokok menyebabkan keputusan di timbang berdasarkan uang bukan berdasarekan kebutuhan manusia.




BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Konsep goodandcleargovernance yang telah dijelaskan tersebut berlaku untuk semua jenjang pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mau tidak mau, mampu ataupun tidak mampu, dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun penyelenggaraan otonomi daerah, dituntut untuk menerapkan prinsip-prinsip goodandcleargovernance karena prinsip tersebut telah menjadi paradigma baru didalam menyelenggarakan kepemerintahan yang digunakan secara universal.
            Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancangan undang-undang yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan. Pada sisi lain, pemerintah pusat memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan konsep goodandcleargovernancekepada seluruh jajaran pemerintahan karena konsep tersebut menjadi salah satu ukuran keberhasilan birokrasi pemerintahan.

Dengan mengetahui Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih , semuga Indonesia terbebas dari korupsi.

3.2 Saran
Atas kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-kelemahan dalam penegakkan prinsip goodandcleargovernance di Indonesia yaitu:
1.      Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan melibatkan pihak terkait. Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana dengan efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki integritas dan nilai etika yang rendah.
2.      Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan meskipun penulis mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.







DAFTAR PUSTAKA

Agus Dwiyanto. Mewujudkan GoodGovernance Melalui Pelayanan   Publik. 2005
Sedarmayanti (2007) GoodGovernance (pemerintahan yang baik) dan GoodCorporateGovernance.
Sulistiyani, Ambar Teguh. 2000. Memahami goodGovernance
Ubaedillah, A., dan Abdul Rozak. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan: Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat  Madani. Jakarta Syarif Hidayatullah dan Predana Media Group.
Wiliam N. Dunn (2003) Pengantar Analisis Kebijakan Publik (edisi kedua
Wahyudi Kumorotomo, 2008, Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa Pada Masa transisi.
Basrowi, Suko Susilo, Demokrasi & HAM, Jenggala Pustaka Utama, 2006
Bintoro Tjoroamijoyo, GoodGovernance, LAN, 2002
Denny Indrayana, Indonesia Optimis, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2011
Eko Prasojo, As‘ad Nugroho, Erry RH dkk, Mengurai Benang Kusut Birokrasi,
Piramedia, 2006
H. Hartono Mardjono, Negara Hukum Yang Demoratis Sebagai Landasan MembangunIndonesia Baru, Yayasan Koridor Pengabdian, 2001
M. Kusnardi, Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, 2008
M. Mahfud M.D, Amandemen Konstitusi menuju Reformaasi Tata Negara, 1999









Tidak ada komentar:

Posting Komentar